LAMSEL – Ketua Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (DPP LPKSM GML), Saepunnaim atau yang akrab disapa Kang Ayi, secara tegas menolak pengibaran bendera One Peace di Indonesia. Ia menyatakan bahwa bendera tersebut tidak layak dikibarkan, bahkan tidak pantas berada di bawah bendera Merah Putih, dengan alasan bahwa simbol tersebut identik dengan pemberontakan dan gerombolan, Senin(04/08/2025).
Kang Ayi mengungkapkan pengalaman pribadinya sebagai dasar penolakan: “Emak saya yatim dari kecil karena kakek saya beserta 17 orang lainnya di kampung dibunuh oleh para gerombolan pemberontak. Bagi saya, bendera One Peace adalah simbol gerombolan dan pemberontakan.” Pernyataan ini menegaskan bahwa baginya, bendera tersebut bukan sekadar simbol, melainkan representasi kekerasan yang pernah menimpa keluarganya.
Sebagai pelaku swadaya, Kang Ayi meminta aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, untuk menindak tegas siapa pun yang mengibarkan bendera One Peace, terutama jika dikibarkan bersamaan dengan bendera Merah Putih. “Dasar hukumnya apa, Kang? Alah, banyak pakai saja undang-undang darurat numpuk. Kalau niat, masih bisa disambung? Yang penting niat,” ujarnya dengan nada tegas.
Meskipun tidak secara spesifik merujuk pada undang-undang tertentu, Kang Ayi menekankan pentingnya niat dan komitmen negara dalam melindungi simbol nasional. Ia berargumen bahwa jika ada kemauan, penegakan hukum bisa dilakukan dengan menggunakan instrumen yang ada, termasuk aturan darurat jika diperlukan.
Trauma historis menjadi dasar penolakannya:
“Mereka harus belajar dari emak saya yang jadi yatim karena pemberontakan. Bendera ini bagi kami adalah simbol pengkhianatan!” Ungkap Kang Ayi
Sementara itu, dalam konteks hukum Indonesia, pengibaran bendera asing atau simbol tertentu di ruang publik dapat diatur melalui Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009). Pasal 24 UU tersebut menyatakan bahwa bendera asing tidak boleh dikibarkan lebih tinggi atau sejajar dengan bendera Merah Putih. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi pidana.
Selain itu, jika bendera One Peace dianggap sebagai simbol yang mengganggu ketertiban umum atau terkait dengan gerakan separatis, aparat berwenang dapat menggunakan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan atau UU No. 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme untuk mengambil tindakan hukum.
Pernyataan Kang Ayi memicu beragam tanggapan di media sosial. Sebagian netizen mendukung sikapnya dengan alasan nasionalisme, sementara yang lain mempertanyakan apakah penolakan terhadap bendera One Peace perlu diatur secara hukum jika tidak terbukti terkait tindak kriminal.
Dengan latar belakang sejarah keluarganya, Kang Ayi menolak keras pengibaran bendera One Peace dan mendesak aparat untuk bertindak. Meskipun belum ada klarifikasi resmi tentang status hukum bendera tersebut, seruannya mengingatkan pentingnya menjaga simbol nasional dan menindak tegas segala bentuk simbol yang dianggap mengancam persatuan bangsa.
Ditempat yang berbeda, Dadan Hutari dari AKLI mendukung penuh seruan Kang Ayi:
“Pengibaran bendera asing yang merendahkan Merah Putih bukan hanya urusan nasionalisme, tapi juga keamanan publik. Kami minta penegakan hukum tegas!” Ucap Dadan.